Quality & Improvement
Disadari atau tidak, hidup itu adalah tentang kualitas atau lebih sering juga disebut mutu. Dalam blog ini, kami akan menampilkan usaha-usaha dari kami untuk meningkatkan kualitas atau mutu itu dengan teori-teori yang ada juga pengalaman yang pernah dihadapi. Kebanyakan yang akan kami sajikan seputar mutu, manufaktur, dan juga perlakuan material. Terimakasih
Selasa, 08 Desember 2015
Ground Test CN-295
Nampak pesawat CN-295 sedang menjalani proses ground test, sebelum dapat dilakukan flight test. Salam Indonesia Raya
Final Assembly Line NC-212
Seperti yang terlihat bahwa sedang dilakukan proses Final Assembly atau proses perakitan akhir dari jenis pesawat NC-212. Pesawat tersebut adalah kerjasama antara dua perusahaan pembuat pesawat yakni Dirgantara Indonesia (Indonesia) dan juga CASA atau Airbus Defence and Space (Spanyol).
Jadi seharusnya sebgai orang Indonesia kita bangga bahwa dalam hal teknologi kedirgantaraan kita sudah sejajara dengan Negara maju lainnya.
Organizational Citizenship Behaviour (OCB)
OCB
adalah
perilaku bebas yang bukan bagian dari tugas formal karyawan, namun dapat
meningkatkan fungsi efektif organisasi. Organisasi membutuhkan karyawan yang
dapat melakukan hal lebih dari tugasnya yang dapat menghasilkan kinerja diatas
harapan (Robbins, 2003).
Organ (1988) juga
mendefinisikan OCB yaitu “Individual behavior that is discretionary,
not directly or explicitly formal reward system, and in the aggregate promotes
the effective functioning of the organization”. Dapat diartikan bahwa
perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan langsung atau eksplisit dengan
sistem reward dan secara agregat
meningkatkan fungsi efektif organisasi. Praktek pentingnya OCB yaitu perilaku
tersebut meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi dengan berkontribusi
pada transformasi sumber daya, inovatifnes dan adaptasi (Organ, 1988). Perilaku
tersebut tidak hanya perilaku yang sesuai dengan perannya saja (in-role) namun diharapkan dapat
memunculkan perilaku extra-role dari
para individu tersebut, sehingga jalinan kerjasama tim dapat makin solid dan
dapat bekerja secara optimal bagi organisasi (Organ dkk., 2006).
Organ dkk., (2006) juga
menyatakan bahwa pada dasarnya OCB merupakan
perilaku spesifik dimana sama sekali tidak dibutuhkan dalam deskripsi
pekerjaan, tetapi cenderung pada pilihan pribadi setiap karyawan untuk mau atau
tidak melakukannya. Dapat disimpulkan bahwa OCB
merupakan perilaku karyawan untuk melakukan tindakan diluar deskripsi
pekerjaan yang dimilikinya agar organisasi dapat berjalan dengan semestinya dan
lebih baik dan perilaku yang dilakukan tidak diberi penghargaan atau imbalan
secara formal.
Organizational Citizenship Behavior
(OCB) memiliki lima dimensi primer (Organ dkk., 2006), yaitu :
1.
Altruism adalah perilaku karyawan dalam menolong rekan
kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai
tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah
pada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.
2.
Courtesy adalah perilaku dalam menjaga hubungan baik dengan rekan kerja agar
terhindar dair masalah-masalah antar karyawan, sehingga orang-orang yang
memiliki courtesy adalah orang yang
menghargai dan memperhatikan orang lain. Dengan adanya courtesy dapat membantu mencegah permasalahan yang terjadi antar
rekan kerja dan memfasilitasi penggunaan waktu secara konstruktif.
3.
Conscientiousness adalah perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha
melebihi dari yang
diharapkan perusahaan, dimana perilakus ukarela ini bukan merupakan kewajiban
atau tugas dari karyawan yang bersangkutan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas
dan jauh kedepan dair panggilan tugas setiap karyawan.
4.
Sportmanship
merupakan perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang
ideal dalam orgniasai tanpa mengajukan keberatan. Sesorang yang mempunyai
tingkatan yang tinggi dalam sportamanship
akan meningkatkan iklim positif diantara karyawan, serta karyawan akan
lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga dapat menciptakan
lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.
5.
Civic
Virtue adalah perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab
pada kehidupan organisasi dimana kecenderungan karyawan akan mengikuti
perubahan dala organisasi, mengambil inisiatif untuk mrekomendasikan bagimana
prosedur dalam organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber daya
yang dimiliki oleh organisasi. Dimensi ini mengaraha pada tanggung jawab yang
diberikan organisasi kepada seseorang untuk meningkatkan kualitas pada bidang
pekerjaan yang ditekuni.
Berdasarkan
Cohen dan Vidoga (2000) manfaat
OCB bagi organisasi termasuk peningkatan produktivitas kerja tim dan manajemen,
penggunaan yang lebih efektif dan alokasi atas sumber daya, dan peningkatan citra organisasi yang
memungkinkan untuk menarik karyawan berkualitas tinggi baru. Semakin banyak
anggota organisasi yang bersedia untuk menampilkan OCB, semakin efektif
organisasi akan beroperasi dan semakin sukses akan pemenuhan dari tujuan dan
tantangan (Cohen dan Vigoda, 2000).
Manfaat
Organizational Citizenship Behaviour (OCB) yang dikemukakan oleh Organ dkk,.
(2006) yaitu:
1. OCB
dapat meningkatkan produktifitas manajer: Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer
mendapatkan saran dan/ umpan nalik yang berharga dari karyawan tersebut untuk
meningkatkan efektivitas unit kerja. Karyawan yang sopan dan menghindari
terjadinya konflik dengan rekan kerja akan menolong manajer terhindar dari
krisis manajemen.
2. OCB dapat
meningkatkan produktifitas rekan kerja: Karyawan yang akan menolong rekan kerja
lain akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan selanjutnya
meningkatkan produktifitas reka tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu,
perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau
kelompok.
3. OCB meningkatkan
kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik:
perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta perasaan saling
memiliki diantara anggota, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan
membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik. Memberi
contoh pada karyawan yang lain denga menampilkan perilaku sportsmanship (misalnya tidak mengeluh karena
permasalahan-permasalahan kecil) akan menimbulkan loyalitas dan komitmen pada
organisasi.
4. OCB
menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
keseluruhan: jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah
dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya
manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat
perencanaan. Karyawan yang menampilkan conscientiousness
yang tinggi akan membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga
manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini
berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang
lebih penting. Karyawan yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan
orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan
tersebut. Karyawan yang menampilkan perilaku sportsmanship akan sangat menolong manajer dengan tidak
menghabiskan waktu untuk terlalu banyak berurusan dengan keluhan-keluhan karyawan.
5. OCB membantu
mengehemat energy sumber daya langka untuk memelihara fungsi kelompok:
keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale), dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota
kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energy dan waktu untuk
pemeliharaan fungsi kelompok. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan
mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk
menyelesaikan konflik manajamen berkurang.
6. OCB dapat
menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja:
menampilkan perilaku civic virtue (seperti
menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan
membantu koordinasi di antara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial
akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi kelompok. Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi
informasi tentang pekerjaan dengan anggota tim lain) akan menghindari munculnya
masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
7. OCB meningkatkan
stabilitas kinerja organisasi: membantu tugas karyawan yang tidak hadir di
tempat kerja atau mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas
(dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja. Karyawan yang conscientious cenderung mempertahankan
tingkat kerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas
pada kinerja unit kerja.
8. OCB meningkatkan
kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan: karyawan
yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar akan sukarela memberi informasi
tentang perubahan yang tejadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana
merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan
cepat. Karyawan yang secar aktif hadir dan berpartisipasi pada
pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang
penting dan harus diketahui oleh organisasi. Karyawan yang menampilkan perilaku
conscientiousness (misalnya kesediaan
untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru) akan
meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di
lingkungannya.
Komitmen Organisasional
Komitmen
organisasional merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh karyawan yang dapat
menimbulkan perilaku positif dan kuat
terhadap organisasi kerja yang dimiliki. Robbins (2003:450) menjelaskan “in term of his or her loyalty to
identification with and involment in the organization, Organizational
commitment represent an employee’s orientations toward to the organization”.
Komitmen pada organisasi merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan
memihak pada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara
keanggotaan dalam organisasi itu. Robbins (2003:92) juga mendefinisikan
komitmen organisasional adalah sejauh mana seorang karyawan memihak kepada
suatu organisasi tertentu beserta dengan tujuannya dan berniat memelihara
keanggotaan dalam organisasi tersebut.
Menurut Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen organisasional
sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta
tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya dalam
organisasi. Sedangkan Mathis dan Jackson dalam Sopiah (2008) mendefinisikan
komitmen organisasional sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau
menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan
meninggalkan organisasinya.
Richard M. Steers dalam Kuncoro (2003) mendefinisikan komitmen
organisasional sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai
organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi
kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap
organisasinya. Steers dalam Kuncoro (2003) berpendapat bahwa komitmen
organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan,
nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya
lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai
organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi
kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan”.
Steers (1995:50)
menyatakan terdapat tiga aspek dalam komitmen, tiga aspek komitmen organisasi
diuraikan sebagai berikut :
1.
Identifikasi
Identifikasi berwujud
dalam bentuk kepercayaan yang kuat dari karyawan terhadap nilai-nilai dan
tujuan organisasi. Identifikasi ini timbul ketika organisasi memasukkan
kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasi. Karyawan yang
memiliki identifikasi dalam organisasi.
2.
Keterlibatan
Keterlibatan karyawan
dalam setiap aktifitas kerja dalam organisasi perlu untuk mendapat perhatian
utama, karena dengan adanya keterlibatan karyawan menyebabkan mereka mau dan
senang bekerja sama, baik dengan pimpinan atau dengan rekan kerja. Untuk
menumbuhkan keterlibatan karyawan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah
satunya adalah melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan terutama yang
berkaitan dengan karyawan itu sendiri. Proses keterlibatan ini diharapkan dapat
menumbuhkan perasaan bahwa mereka diterima sebagai bagian utuh dari organisasi,
sehingga pelaksanaan dari hasil keputusan benar-benar dapat dijalankan oleh
seluruh karyawan karena mereka ikut andil dalam pengambilan keputusan tersebut.
3.
Loyalitas
Loyalitas karyawan
terhadap organisasi bermakna sebagai kesediaan seseorang untuk melanggengkan
hubungannya dengan organisasi, hal ini juga dapat diartikan sebagai keinginan
karyawan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Kesediaan karyawan
untuk tetap bekerja dalam organisasi adalah hal penting dalam menunjang
komitmen karyawan terhadap organisasi dimana karyawan bekerja. Loyalitas dapat
terbentuk apabila karyawan merasakan adanya keamanan dan kepuasan dalam
organisasi tempat karyawan bekerja.
Sedangkan menurut
Luthans (2009:130) memberikan pendapat bahwa, “Dengan komitmen penuh pada
organisasi, berbagai harapan, cita-cita dan kebutuhan para karyawan akan
terwujud dan terpenuhi”. Dari beberapa pendapat dari para ahli diatas, dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa komitmen organisasional merupakan suatu
perwujudan kesetiaan karyawan terhadap organisasi, serta merupakan proses yang
berkelanjutan, dimana karyawan memperlihatkan perhatian mereka terhadap
organisasi dengan terlibat didalam organisasi, serta peduli terhadap pencapaian
tujuan organisasi dan kelangsungan hidup organisasi.
Perasaan bangga dalam
memiliki suatu organisasi akan ditunjukkan oleh karyawan yang berkomitmen,
dimana dalam organisasi semua karyawan dalam semua departemen memiliki tujuan
yang sama dan bersama-sama berusaha mencapai tujuan tersebut. Pencapaian dari
tujuan tersebut menghasilkan karyawan berbagi perasaan berkontribusi yang
bermanfaat, rasa memiliki, dan berkomitmen pada organisasi (Jaworski dan Kohli,
1993).
Jaworski dan Kohli
(1993) berpendapat “the organizational
commitment scale items tapped the extent to which business unit's employees
were fond of the organization, saw their future tied to that of the
organization and were willing to make personal sacrifice for the business unit
(e.g., employees often go above and beyond the call of the duty to ensure this
business unit’s well-being). Artinya yaitu Item skala komitmen
organisasional mencakup sejauh mana karyawan unit bisnis yang menyukai
organisasi, melihat masa depan mereka terikat dengan organisasi dan bersedia
untuk membuat pengorbanan pribadi untuk unit bisnis (misalnya, karyawan sering
bekerja melebihi dan melampaui panggilan tugas untuk memastikan kesejahteraan
unit bisnis ini). Berikut item skala untuk komitmen organisasional menurut
Jaworski dan Kohli (1993):
1.
Karyawan
merasa seolah-olah masa depan mereka berhubungan erat dengan organisasi.
2.
Karyawan
akan senang untuk membuat pengorbanan pribadi jika itu penting bagi
kesejahteraan unit/bagian.
3.
Ikatan
antara organisasi ini dan karyawannya kuat.
4.
Secara umum, karyawan bangga bekerja untuk unit/bagian bisnis ini.
5.
Karyawan sering melakukan pekerjaan yang
melebihi dan melampaui tugasnya untuk memastikan unit/bagian bisnis ini baik.
6.
Orang-orang kami memiliki sedikit
komitmen atau tidak ada komitmen untuk unit/bagian bisnis ini.
Jelas bahwa karyawan menyukai unit/bagian bisnis
ini.
Kepuasan Kerja
Richard (2002:11)
mempunyai pendapat bahwa “kepuasan kerja (job
satisfaction) merupakan sebuah sikap positif untuk mengarahkan pekerjaan
seseorang. Pentingnya kepuasan kerja bervariasi menurut luas kendali yang
dimiliki seorang karyawan.” Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara
harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan. Seseorang
dengan tingkat kepuasan tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap
pekerjaan itu. Jadi kepuasan kerja
juga berkaitan erat dengan teori keadilan, perjanjian psikologis, dan motivasi.
Menurut Robbins (2003:103) “kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum seseorang
individu terhadap pekerjaannya. Ini berarti penilaian seorang karyawan terhadap
betapa puas atau tidaknya dia akan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang
rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan terpisahkan
satu sama lain)”.
Robbins (2003) berpendapat kepuasan kerja itu terjadi apabila
kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat
kesukaan dan ketidaksukaan dari pegawai, yang merupakan sikap umum yang dimiliki
oleh pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan
mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan tanggapan
emosional terhadap situasi kerja,
menentukan seberapa besar hasil yang akan dicapai atau diharapkan dan
mencerminkan sikap yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri.
Secara komprehensif,
kepuasan kerja didefinisikan Locke dalam Luthans (2009) sebagai suatu keadaan
emosi yang menyenangkan atau bersifat positif yang muncul atau dihasilkan dari
penilaian terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan
kerja adalah suatu perasaan positif ataupun negatif yang dirasakan seorang karyawan terhadap pekerjaannya,
perasaan ini merupakan suatu
respon tentang kondisi dan keadaan dalam pekerjaannya.
Kepuasan pekerjaan
lebih dipengaruhi oleh faktor intrinsik daripada faktor ekstrinsik karena
faktor tersebut dipercaya lebih memotivasi karyawan untuk berkinerja dan
berusaha lebih keras , menurut Hackman dan Oldham (1976) “Teori yang diajukan
bahwa penentu utaman dari kepuasaan pekerjaan adalah faktor intrinsik pada
pekerjaan yang dilakukan (misalnya pengakuan, pencapaian, tanggung jawab,
pengembangan, pertumbuhan pribadi dalam kompetensinya). Faktor tersebut disebut
“motivators” karena faktor tersebut
dipercaya efektif untuk memotivasi karyawan untuk berusaha dan bekerja dengan
keras”.
Dalam mengukur kepuasan
kerja Hackman dan Oldham (1980) mengembangkan melalui Job Diagnostic Survey, yaitu:
1.
Secara
umum, puas dengan pekerjaan saat ini.
2. Sebagian
besar yang saya lakukan dalam pekerjaan berguna dan penting.
3. Pekerjaan
yang saya lakukan sangat bermakna.
4. Merasakan
tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi untuk pekerjaan yang dilakukan.
5.
Merasakan
perasaan kuat atas kepuasan pribadi pada pekerjaan yang dilakukan.
6. Merasakan
pencapaian dalam karir.
Merasakan puas dan senang pada saat mengetahui
berkinerja baik dalam pekerjaan
Person-Organization Fit
Person
Organization Fit (P-O fit) secara luas didefinisikan sebagai
kesesuaian antara nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai individu (Netemeyer
dkk., 1997). P-O fit didasarkan pada
asumsi keinginan individu untuk memelihara kesesuaian mereka dengan nilai-
nilai organisasi (Schneider, Goldstein, & Smith, 1995). Selama ini
perusahaan dalam merekrut karyawan didasarkan pada pendekatan tradisional yaitu
kesesuaian antara individu dengan pekerjaan yang ditawarkan (Person-Job fit).
Ketertarikan antara individu dan organisasi terjadi pada saat ada kesesuaian
antara satu dengan yang lain, hal ini sangat berpengaruh terhadap organisasi
dalam merekrut karyawan dan juga sikap karyawan untuk memilih pekerjaan
tersebut, yang pada akhirnya berpengaruh pada perilaku karyawan yang dibutuhkan
oleh peruasahaan.
Banyak perusahaan
selama ini dalam hal merekrut karyawan didasarkan pada pendekatan tradisional
yaitu kesesuaian antara individu dengan pekerjaan yang ditawarkan (person-job fit), namun dalam
kenyataannya karyawan mungkin menguasai dan memahami pekerjaan yang dijalaninya
namun tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam organisasi. Kristof
(1996) berpendapat bahwa pendekatan person-job fit ini kurang baik dalam proses
seleksi karyawan, mereka berpendapat bahwa efektifitas organisasi tidak hanya
didukung oleh kesuksesan tugas pekerjaan karyawan saja tetapi perlu
memperhatikan perilaku karyawan secara luas. Person Organization-fit menjadi pertimbangan sebagai bagian seleksi
di dalam organisasi dan secara umum didefinisikan sebagai kecocokan antara
individu dan organisasi dan ketepatan kepribadian seorang individu sesuai
dengan konteks perusahaan (Kristof, 1996).
Pada beberapa
penelitian organisasi mengemukakan bahwa orang sering bekerja untuk perusahaan
yang dapat membuat mereka menggunakan keahlian dan kemampuan terbaik mereka dan
menyediakan lingkungan yang sesuai dengan atribut pribadi mereka (Kristof,
1996), jadi organisasi yang dapat membuat karyawan merasa dapat melakukan
keahlian dan kemampuan terbaik mereka serta lingkungan yang sesuai dengan
atribut personal mereka akan mendukung kinerja yang lebih baik.
Hubungan ini juga
didasari oleh adanya psychological
contrac” dimana ada ikatan antara individu dengan organisasi secara
psikologis, “kontrak psikologis adalah kepercayaan individu, yang dibentuk oleh
organisasi berdasar pada ketentuan
perjanjian pertukaran antara individu-individu dengan organisasi mereka”
(Roesseau, 1995). Menurut Roesseau (1995) kontrak ini didasarkan pada asumsi
bahwa perjanjian ini tetap ada dan bahwa kontrak tersebut diterima dengan
sukarela oleh karyawan. Hal tersebut berarti bahwa dasar penerimaan karyawan
atas kontrak adalah harapan karyawan pada organisasinya dan keinginan karyawan
untuk melanjutkan partisipasi dalam hubungan tersebut, juga diikuti bahwa karyawan
bekerja dalam perusahaan dengan pemahaman bahwa employer akan membalas dengan menyediakan kompensasi dan hal – hal
positif lainnnya.
Kontrak psikologis yang
semakin berkembang dalam organisasi dapat menjadi kontrak normatif di dalam
perusahaan, “perjanjian antara kelompok dengan perusahaan dapat menjadi kontrak
normatif pada saat rekan-rekan kerja menyetujui persyaratan yang mendefinisikan
kontrak psikologis masing-masing, dan berbagi bersama atas perjanjian ini
menguatkan keseluruhan hubungan antar karyawan dengan perusahaan mereka”
(Valentine dkk, 2002). Tingginya perjanjian normatif dapat menegakkan norma
perusahaan berdasarkan nilai, kepercayaan dan prinsip institusional dan
mengembangkan kemantapan budaya perusahaan. Person-organization
fit akan meningkat pada saat perusahaan menghargai dan mendukung perjanjian
tersebut, menggunakan nilai organisasi
yang diinginkan.
Secara khusus,
perkembangan konteks etika mungkin meningkatkan person-organization fit karena
para karyawan lebih memilih nilai perusahaan bermoral (Vidaver-Cohen, 1998),
organisasi dapat meningkatkan perjanjian dan kontrak karyawan yang terbagi
dengan karyawan lain dengan mendukung kode etik (Valentine dkk, 2002), pada
saat organisasi menyediakan budaya konduktif untuk pertukaran tersebut (pada
saat employer dapat diandalkan,
berpikiran terbuka, atau beretika) kemungkinan untuk mendapatkan respon yang
diinginkan dari karyawan (produktivitas dan loyalitas tinggi) secara teori akan
meningkat (Hunt dkk, 1989).
Menurut Kristof (1996),
person-organization fit memiliki empat konsep yang terdiri dari :
1.
Kesesuaian nilai (value congruence)
adalah kesesuaian antara nilai intrinsic individu dengan organisasi
2.
Kesesuaian
tujuan (goal congruence) adalah kesesuaian antara tujuan individu dengan
organisasi. Dalam hal ini adalah pemimpin dan rekan sekerja
3.
Pemenuhan kebutuhan karyawan (employee
need fulfillment) adalah kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan karyawan dan
kekuatan yang terdapat dalam lingkungan kerja dengan sistem dan struktur
organisasi
4.
Kesesuaian karakteristik
kultur-kepribadian (culture personality congruence) adalah kesesuaian antara
kepribadian (non nilai) dari setiap individu dan iklim atau kultur organisasi.
Netemeyer (1997)
mengembangkan pengukuran person-organization
fit dengan menilai kesesuaian antara nilai pribadi karyawan-karyawan dengan
nilai organisasi:
1.
Saya merasa bahwa nilai pribadi saya
sangat cocok dengan nilai organisasi saya
2.
Organisasi ini memiliki nilai yang sama
seperti saya berkaitan dengan kepedulian terhadap orang lain
3.
Organisasi ini memiliki nilai yang sama
seperti saya berkaitan dengan kejujuran
4.
Organisasi ini memiliki nilai yang sama
seperti seperti saya berkaitan dengan keadilan.
Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan
berasal dari kata pemimpin yang artinya seseorang yang mempergunakan wewenang
dan kepemimpinannya, mengarahkan bawahan untuk mengerjakan sebagian
pekerjaannya dalam mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang ditetapkan
oleh seorang manajer dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi
dan mendorong gairah kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal.
Dalam
suatu organisasi, faktor kepemimpinan memegang peranan yang penting karena
pemimpin itulah yang akan menggerakkan dan mengarahkan organisasi dalam
mencapai tujuan dan sekaligus merupakan tugas yang tidak mudah. Tidak mudah,
karena harus memahami setiap perilaku bawahan yang berbeda-beda. Bawahan
dipengaruhi sedemikian rupa sehingga bisa memberikan pengabdian
danpartisipasinya kepada organisasi secara efektif dan efisien. Dengan kata
lain, bahwa sukses tidaknya usaha pencapaian tujuan organisasi ditentukan oleh
kualitas kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan. Thoha (2010:49), gaya
kepemimpinan adalah norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat
orang tersebut mencoba memengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai tujuannya.
Sedangkan menurut (Martinis Yamin dan Maisah, 2010:74) kepemimpinan adalah
suatu proses mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola anggota
kelompoknya untuk mencapai tujuan organisasinya. Bentuk gaya kepemimpinan yang
diterapkan dalam suatu organisasi dapat mempengaruhi kinerja setiap karyawan.
Gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi akan mendorong
karyawan untuk bekerja lebih bersemangat dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya.
Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan
diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam
mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan
untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam
mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Siagian (2002:235), gaya
kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi ada 5 tipe yaitu:
1.
Tipe pemimpin yang otokratik
Seorang pemimpin yang otokratik ialah
seorang pemimpin yang:
-
Menganggap organisasi sebagai milik
pribadi
-
Mengidentikan tujuan pribadi dengan
tujuan organisasi
-
Menganggap bahwa sebagai alat
semata-mata
-
Tidak mau menerima kritik, saran dan
pendapat
-
Terlalu tergantung pada kekuasaan
formalnya
-
Dalam tindaknya penggeraknya sering
mempergunzakan approach yang mengandung unsur paksaan dan punctif (bersifat
menghukum)
2.
Tipe pemimpin yang militeristik
Perlu
diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud seorang pemimpin tipe militeristik
berbeda dengan seorang pemimpin modern. Seorang pemimpin yang
bertipemiliteristik ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat:
-
Dalam menggerakan bawahannya sistem
perintah yang sering dipergunakan
-
Dalam menggerakan bawahannya senang
bergantung pada pangkat dan jabatan
3.
Tipe pemimpin yang paternalistik
-
Menganggap bahwa sebagai manusia yang
tidak dewasa
-
Bersikap terlalu melindungi
-
Jarang memberikan kesempatan kepada
bawahannya untuk mengambil Keputusan
-
Jarang memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk mengambil inisiatif
-
Jarang memberikan kesempatan kepada
bawahan untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasi
-
Sering bersikap mau tahu
4.
Tipe pemimpin yang kharismatik
Pemimpin karismatik adalah pemimpin yang
mewujudkan atmosfir motivasi atas dasar komitmen dan identitas emosional pada visi,
filosofi, dan gaya mereka dalam diri bawahannya (Ivancevich, dkk, 2007).
Pemimpin kharismatik mampu memainkan peran penting dalam menciptakan perubahan.
Individu yang menyandang kualitas-kualitas pahlawan memiliki karisma. Sebagian
yang lain memandang pemimpin karismatik adalah pahlawan.
House (1977) mengusulkan sebuah teori
untuk menjelaskan kepemimpinan kharismatik dalam hal sekumpulan usulan yang dapat
diuji melibatkan proses yang dapat diamati. Teori itu mengenai bagaimana para pemimpin
karismatik berperilaku, ciri, dan keterampilan mereka, dan kondisi dimana mereka
paling mungkin muncul. Sebuah keterbatasan teori awal adalah ambiguitas tentang
proses pengaruh. Shamir,dkk (1993) telah merevisi dan memperluas teori itu
dengan menggabungkan perkembangan baru dalam pemikiran tentang motivasi manusia
dan gambaran yang lebih rinci tentang pengaruh pemimpin terhadap pengikut
(dalam Yukl, 2005:294)
5.
Tipe pemimpin yang demokratik
Pengetahuan
tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpinyang demokratislah
yang paling tepat untuk organisasi modern karena:
-
Ia senang menerima saran, pendapat dan
bahkan kritikan dari bawahan
-
Selalu berusaha mengutamakan kerjasama
teamwork dalam usaha mencapaitujuan
-
Selalu berusaha menjadikan lebih sukses
dari padanya
-
Selalu berusaha mengembangkan kapasitas
diri pribadinya sebagai pemimpin
Sedangkan Robins (2006) mengidentifikasi
empat jenis gaya kepemimpinan antara lain:
1.
Gaya kepemimpinan kharismatik
Para pengikut terpacu kemampuan
kepemimpinan yang heroik atau yang luarbiasa ketika mereka mengamati
perilaku-perilaku tertentu pemimpin mereka.Terdapat lima karakteristik pokok
pemimpin kharismatik:
a.
Visi dan artikulasi.
Dia memiliki visi ditujukan dengan
sasaran ideal yang berharap masa depan lebih baik daripada status quo, dan
mampu mengklarifikasi pentingnya visi yang dapat dipahami orang lain.
b.
Rasio personal.
Pemimpin
kharismatik bersedia menempuh risiko personal tinggi, menanggung biaya besar,
dan terlibat ke dalam pengorbanan diri untuk meraih visi.
c.
Peka terhadap lingkungan.
Mereka
mampu menilai secara realistis kendala lingkungan dan sumber daya yang
dibutuhkan untuk membuat perubahan.
d.
Kepekaan terhadap kebutuhan pengikut.
Pemimpin
kharismatik perseptif (sangat pengertian) terhadap kemampuan orang lain dan
responsive terhadap kebutuhan dan perasaan mereka.
e.
Perilaku tidak konvensional.
Pemimpin
kharismatik terlibat dalam perilaku yang dianggap baru dan berlawanan dengan
norma.
2.
Gaya kepemimpinan transaksional
Pemimpin transaksional merupakan pemimpin
yang memandu atau memotivasi para pengikut mereka menuju sasaran yang
ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas. Gaya kepemimpinan
transaksional lebih berfokus pada hubungan pemimpin-bawahan tanpa adanya usaha
untuk menciptakan perubahan bagi bawahannya. Terdapat empat karakteristik
pemimpin transaksional:
a.
Imbalan kontingen: kontrak pertukaran
imbalan atas upaya yang dilakukan,menjanjikan imbalan atas kinerja baik,
mengakui pencapaian.
b.
Manajemen berdasar pengecualian (aktif):
melihat dan mencari penyimpangandari aturan dan standar, menempuh tindakan
perbaikan.
c.
Manajemen berdasar pengecualian (pasif):
mengintervensi hanya jika standartidak dipenuhi.
d.
Laissez-Faire: melepas tanggung jawab,
menghindari pembuatan keputusan.
3.
Gaya kepemimpinan transformasional
Pemimpin transformasional mencurahkan
perhatian pada hal-hal dan kebutuhanpengembangan dari masing-masing pengikut,
Pemimpin transformasional mengubah kesadaran para pengikut akan
persoalan-persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan
cara-cara baru, dan mereka mampu menggairahkan,membangkitkan, dan mengilhami
para pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra demi mencapai sasaran kelompok.
Terdapat empat karakteristik pemimpin transformasional yaitu:
a.
Kharisma: memberikan visi dan rasa atas
misi, menanamkan kebanggaan,meraih penghormatan dan kepercayaan.
b.
Inspirasi: mengkomunikasikan harapan
tinggi, menggunakan simbol untukmemfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting
secara sederhana.
c.
Stimulasi intelektual: mendorong
intelegensia, rasionalitas, dan pemecahanmasalah secara hati-hati.
d.
Pertimbangan individual: memberikan
perhatian pribadi, melayani karyawansecara pribadi, melatih dan menasehati.
4.
Gaya kepemimpinan visioner
Kemampuan menciptakan
dan mengartikulasikan visi yang realistis, kredibel, danmenarik mengenai masa
depan organisasi atau unit organisasi yang tengah tumbuh danmembaik dibanding
saat ini. Visi ini jika diseleksi dan diimplementasikan secara tepat,mempunyai
kekuatan besar sehingga bisa mengakibatkan terjadinya lompatan awal kemasa
depan dengan membangkitkan keterampilan, bakat, dan sumber daya
untukmewujudkannya
Langganan:
Postingan (Atom)