Selasa, 08 Desember 2015

Ground Test CN-295




Nampak pesawat CN-295 sedang menjalani proses ground test, sebelum dapat dilakukan flight test. Salam Indonesia Raya

Final Assembly Line NC-212


Seperti yang terlihat bahwa sedang dilakukan proses Final Assembly atau proses perakitan akhir dari jenis pesawat NC-212. Pesawat tersebut adalah kerjasama antara dua perusahaan pembuat pesawat yakni Dirgantara Indonesia (Indonesia) dan juga CASA atau Airbus Defence and Space (Spanyol).
Jadi seharusnya sebgai orang Indonesia kita bangga bahwa dalam hal teknologi kedirgantaraan kita sudah sejajara dengan Negara maju lainnya.

Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

OCB adalah perilaku bebas yang bukan bagian dari tugas formal karyawan, namun dapat meningkatkan fungsi efektif organisasi. Organisasi membutuhkan karyawan yang dapat melakukan hal lebih dari tugasnya yang dapat menghasilkan kinerja diatas harapan (Robbins, 2003).
Organ (1988) juga mendefinisikan OCB yaitu “Individual behavior that is discretionary, not directly or explicitly formal reward system, and in the aggregate promotes the effective functioning of the organization”. Dapat diartikan bahwa perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan secara agregat meningkatkan fungsi efektif organisasi. Praktek pentingnya OCB yaitu perilaku tersebut meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi dengan berkontribusi pada transformasi sumber daya, inovatifnes dan adaptasi (Organ, 1988). Perilaku tersebut tidak hanya perilaku yang sesuai dengan perannya saja (in-role) namun diharapkan dapat memunculkan perilaku extra-role dari para individu tersebut, sehingga jalinan kerjasama tim dapat makin solid dan dapat bekerja secara optimal bagi organisasi (Organ dkk., 2006).
Organ dkk., (2006) juga menyatakan bahwa pada dasarnya OCB merupakan perilaku spesifik dimana sama sekali tidak dibutuhkan dalam deskripsi pekerjaan, tetapi cenderung pada pilihan pribadi setiap karyawan untuk mau atau tidak melakukannya. Dapat disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku karyawan untuk melakukan tindakan diluar deskripsi pekerjaan yang dimilikinya agar organisasi dapat berjalan dengan semestinya dan lebih baik dan perilaku yang dilakukan tidak diberi penghargaan atau imbalan secara formal.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) memiliki lima dimensi primer (Organ dkk., 2006), yaitu :
1.         Altruism adalah perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah pada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.
2.         Courtesy adalah perilaku dalam menjaga hubungan baik dengan rekan kerja agar terhindar dair masalah-masalah antar karyawan, sehingga orang-orang yang memiliki courtesy adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain. Dengan adanya courtesy dapat membantu mencegah permasalahan yang terjadi antar rekan kerja dan memfasilitasi penggunaan waktu secara konstruktif.
3.         Conscientiousness adalah perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi dari yang diharapkan perusahaan, dimana perilakus ukarela ini bukan merupakan kewajiban atau tugas dari karyawan yang bersangkutan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh kedepan dair panggilan tugas setiap karyawan.
4.         Sportmanship merupakan perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam orgniasai tanpa mengajukan keberatan. Sesorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportamanship akan meningkatkan iklim positif diantara karyawan, serta karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.
5.         Civic Virtue adalah perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi dimana kecenderungan karyawan akan mengikuti perubahan dala organisasi, mengambil inisiatif untuk mrekomendasikan bagimana prosedur dalam organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh organisasi. Dimensi ini mengaraha pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seseorang untuk meningkatkan kualitas pada bidang pekerjaan yang ditekuni.

Berdasarkan Cohen dan Vidoga (2000) manfaat OCB bagi organisasi termasuk peningkatan produktivitas kerja tim dan manajemen, penggunaan yang lebih efektif dan alokasi atas sumber daya, dan peningkatan citra organisasi yang memungkinkan untuk menarik karyawan berkualitas tinggi baru. Semakin banyak anggota organisasi yang bersedia untuk menampilkan OCB, semakin efektif organisasi akan beroperasi dan semakin sukses akan pemenuhan dari tujuan dan tantangan (Cohen dan Vigoda, 2000).
Manfaat Organizational Citizenship Behaviour (OCB) yang dikemukakan oleh Organ dkk,. (2006) yaitu:
1.      OCB dapat meningkatkan produktifitas manajer: Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu manajer mendapatkan saran dan/ umpan nalik yang berharga dari karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja. Karyawan yang sopan dan menghindari terjadinya konflik dengan rekan kerja akan menolong manajer terhindar dari krisis manajemen.
2.      OCB dapat meningkatkan produktifitas rekan kerja: Karyawan yang akan menolong rekan kerja lain akan mempercepat penyelesaian tugas rekan kerjanya, dan selanjutnya meningkatkan produktifitas reka tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan karyawan akan menyebarkan best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok.
3.      OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan mempertahankan karyawan terbaik: perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta perasaan saling memiliki diantara anggota, sehingga akan meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan mempertahankan karyawan yang baik. Memberi contoh pada karyawan yang lain denga menampilkan perilaku sportsmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-permasalahan kecil) akan menimbulkan loyalitas dan komitmen pada organisasi.
4.      OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan: jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer, konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan tugas lain, seperti membuat perencanaan. Karyawan yang menampilkan conscientiousness yang tinggi akan membutuhkan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan tugas yang lebih penting. Karyawan yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya untuk keperluan tersebut. Karyawan yang menampilkan perilaku sportsmanship akan sangat menolong manajer dengan tidak menghabiskan waktu untuk terlalu banyak berurusan dengan keluhan-keluhan karyawan.
5.      OCB membantu mengehemat energy sumber daya langka untuk memelihara fungsi kelompok: keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moril (morale), dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energy dan waktu untuk pemeliharaan fungsi kelompok. Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajamen berkurang.
6.      OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja: menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi di antara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi kelompok. Menampilkan perilaku courtesy (misalnya saling memberi informasi tentang pekerjaan dengan anggota tim lain) akan menghindari munculnya masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
7.      OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi: membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan cara mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja. Karyawan yang conscientious cenderung mempertahankan tingkat kerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas pada kinerja unit kerja.

8.      OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan: karyawan yang mempunyai hubungan yang dekat dengan pasar akan sukarela memberi informasi tentang perubahan yang tejadi di lingkungan dan memberi saran tentang bagaimana merespon perubahan tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat. Karyawan yang secar aktif hadir dan berpartisipasi pada pertemuan-pertemuan di organisasi akan membantu menyebarkan informasi yang penting dan harus diketahui oleh organisasi. Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness (misalnya kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian baru) akan meningkatkan kemampuan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional merupakan suatu kondisi yang dirasakan oleh karyawan yang dapat menimbulkan  perilaku positif dan kuat terhadap organisasi kerja yang dimiliki. Robbins (2003:450) menjelaskan “in term of his or her loyalty to identification with and involment in the organization, Organizational commitment represent an employee’s orientations toward to the organization”. Komitmen pada organisasi merupakan suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi dan tujuan-tujuannya, serta berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi itu. Robbins (2003:92) juga mendefinisikan komitmen organisasional adalah sejauh mana seorang karyawan memihak kepada suatu organisasi tertentu beserta dengan tujuannya dan berniat memelihara keanggotaan dalam organisasi tersebut.
Menurut Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keangotaannya dalam organisasi. Sedangkan Mathis dan Jackson dalam Sopiah (2008) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai derajat dimana karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya.
Richard M. Steers dalam Kuncoro (2003) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap organisasinya. Steers dalam Kuncoro (2003) berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan”.
Steers (1995:50) menyatakan terdapat tiga aspek dalam komitmen, tiga aspek komitmen organisasi diuraikan sebagai berikut :
1.                  Identifikasi
Identifikasi berwujud dalam bentuk kepercayaan yang kuat dari karyawan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Identifikasi ini timbul ketika organisasi memasukkan kebutuhan dan keinginan karyawan dalam tujuan organisasi. Karyawan yang memiliki identifikasi dalam organisasi.
2.                  Keterlibatan
Keterlibatan karyawan dalam setiap aktifitas kerja dalam organisasi perlu untuk mendapat perhatian utama, karena dengan adanya keterlibatan karyawan menyebabkan mereka mau dan senang bekerja sama, baik dengan pimpinan atau dengan rekan kerja. Untuk menumbuhkan keterlibatan karyawan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan terutama yang berkaitan dengan karyawan itu sendiri. Proses keterlibatan ini diharapkan dapat menumbuhkan perasaan bahwa mereka diterima sebagai bagian utuh dari organisasi, sehingga pelaksanaan dari hasil keputusan benar-benar dapat dijalankan oleh seluruh karyawan karena mereka ikut andil dalam pengambilan keputusan tersebut.
3.                  Loyalitas
Loyalitas karyawan terhadap organisasi bermakna sebagai kesediaan seseorang untuk melanggengkan hubungannya dengan organisasi, hal ini juga dapat diartikan sebagai keinginan karyawan untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Kesediaan karyawan untuk tetap bekerja dalam organisasi adalah hal penting dalam menunjang komitmen karyawan terhadap organisasi dimana karyawan bekerja. Loyalitas dapat terbentuk apabila karyawan merasakan adanya keamanan dan kepuasan dalam organisasi tempat karyawan bekerja.

Sedangkan menurut Luthans (2009:130) memberikan pendapat bahwa, “Dengan komitmen penuh pada organisasi, berbagai harapan, cita-cita dan kebutuhan para karyawan akan terwujud dan terpenuhi”. Dari beberapa pendapat dari para ahli diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa komitmen organisasional merupakan suatu perwujudan kesetiaan karyawan terhadap organisasi, serta merupakan proses yang berkelanjutan, dimana karyawan memperlihatkan perhatian mereka terhadap organisasi dengan terlibat didalam organisasi, serta peduli terhadap pencapaian tujuan organisasi dan kelangsungan hidup organisasi.
Perasaan bangga dalam memiliki suatu organisasi akan ditunjukkan oleh karyawan yang berkomitmen, dimana dalam organisasi semua karyawan dalam semua departemen memiliki tujuan yang sama dan bersama-sama berusaha mencapai tujuan tersebut. Pencapaian dari tujuan tersebut menghasilkan karyawan berbagi perasaan berkontribusi yang bermanfaat, rasa memiliki, dan berkomitmen pada organisasi (Jaworski dan Kohli, 1993).
Jaworski dan Kohli (1993) berpendapat “the organizational commitment scale items tapped the extent to which business unit's employees were fond of the organization, saw their future tied to that of the organization and were willing to make personal sacrifice for the business unit (e.g., employees often go above and beyond the call of the duty to ensure this business unit’s well-being). Artinya yaitu Item skala komitmen organisasional mencakup sejauh mana karyawan unit bisnis yang menyukai organisasi, melihat masa depan mereka terikat dengan organisasi dan bersedia untuk membuat pengorbanan pribadi untuk unit bisnis (misalnya, karyawan sering bekerja melebihi dan melampaui panggilan tugas untuk memastikan kesejahteraan unit bisnis ini). Berikut item skala untuk komitmen organisasional menurut Jaworski dan Kohli (1993):
1.            Karyawan merasa seolah-olah masa depan mereka berhubungan erat dengan organisasi.
2.            Karyawan akan senang untuk membuat pengorbanan pribadi jika itu penting bagi kesejahteraan unit/bagian.
3.            Ikatan antara organisasi ini dan karyawannya kuat.
4.            Secara umum, karyawan bangga  bekerja untuk unit/bagian bisnis ini.
5.            Karyawan sering melakukan pekerjaan yang melebihi dan melampaui tugasnya untuk memastikan unit/bagian bisnis ini baik.
6.            Orang-orang kami memiliki sedikit komitmen atau tidak ada komitmen untuk unit/bagian bisnis ini.
Jelas bahwa karyawan menyukai unit/bagian bisnis ini.

Kepuasan Kerja

Richard (2002:11) mempunyai pendapat bahwa “kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan sebuah sikap positif untuk mengarahkan pekerjaan seseorang. Pentingnya kepuasan kerja bervariasi menurut luas kendali yang dimiliki seorang karyawan.” Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang yang timbul dan imbalan yang disediakan pekerjaan. Seseorang dengan tingkat kepuasan tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan itu. Jadi kepuasan kerja juga berkaitan erat dengan teori keadilan, perjanjian psikologis, dan motivasi. Menurut Robbins (2003:103) “kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaannya. Ini berarti penilaian seorang karyawan terhadap betapa puas atau tidaknya dia akan pekerjaannya merupakan penjumlahan yang rumit dari sejumlah unsur pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan terpisahkan satu sama lain)”.
Robbins (2003) berpendapat kepuasan kerja itu terjadi apabila kebutuhan-kebutuhan individu sudah terpenuhi dan terkait dengan derajat kesukaan dan ketidaksukaan dari pegawai, yang merupakan sikap umum yang dimiliki oleh pegawai yang erat kaitannya dengan imbalan-imbalan yang mereka yakini akan mereka terima setelah melakukan sebuah pengorbanan. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan tanggapan emosional  terhadap situasi kerja, menentukan seberapa besar hasil yang akan dicapai atau diharapkan dan mencerminkan sikap yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri.
Secara komprehensif, kepuasan kerja didefinisikan Locke dalam Luthans (2009) sebagai suatu keadaan emosi yang menyenangkan atau bersifat positif yang muncul atau dihasilkan dari penilaian terhadap suatu pekerjaan atau pengalaman. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu perasaan positif ataupun negatif yang dirasakan seorang karyawan terhadap pekerjaannya, perasaan ini merupakan suatu respon tentang kondisi dan keadaan dalam pekerjaannya.
Kepuasan pekerjaan lebih dipengaruhi oleh faktor intrinsik daripada faktor ekstrinsik karena faktor tersebut dipercaya lebih memotivasi karyawan untuk berkinerja dan berusaha lebih keras , menurut Hackman dan Oldham (1976) “Teori yang diajukan bahwa penentu utaman dari kepuasaan pekerjaan adalah faktor intrinsik pada pekerjaan yang dilakukan (misalnya pengakuan, pencapaian, tanggung jawab, pengembangan, pertumbuhan pribadi dalam kompetensinya). Faktor tersebut disebut “motivators” karena faktor tersebut dipercaya efektif untuk memotivasi karyawan untuk berusaha dan bekerja dengan keras”.
Dalam mengukur kepuasan kerja Hackman dan Oldham (1980) mengembangkan melalui Job Diagnostic Survey, yaitu:
1.      Secara umum, puas dengan pekerjaan saat ini.
2.      Sebagian besar yang saya lakukan dalam pekerjaan berguna dan penting.
3.      Pekerjaan yang saya lakukan sangat bermakna.
4.      Merasakan tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi untuk pekerjaan yang dilakukan.
5.      Merasakan perasaan kuat atas kepuasan pribadi pada pekerjaan yang dilakukan.
6.      Merasakan pencapaian dalam karir.
Merasakan puas dan senang pada saat mengetahui berkinerja baik dalam pekerjaan

Person-Organization Fit

Person Organization Fit (P-O fit) secara luas didefinisikan sebagai kesesuaian antara nilai-nilai organisasi dengan nilai-nilai individu (Netemeyer dkk., 1997).   P-O fit didasarkan pada asumsi keinginan individu untuk memelihara kesesuaian mereka dengan nilai- nilai organisasi (Schneider, Goldstein, & Smith, 1995). Selama ini perusahaan dalam merekrut karyawan didasarkan pada pendekatan tradisional yaitu kesesuaian antara individu dengan pekerjaan yang ditawarkan (Person-Job fit). Ketertarikan antara individu dan organisasi terjadi pada saat ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, hal ini sangat berpengaruh terhadap organisasi dalam merekrut karyawan dan juga sikap karyawan untuk memilih pekerjaan tersebut, yang pada akhirnya berpengaruh pada perilaku karyawan yang dibutuhkan oleh peruasahaan.
Banyak perusahaan selama ini dalam hal merekrut karyawan didasarkan pada pendekatan tradisional yaitu kesesuaian antara individu dengan pekerjaan yang ditawarkan (person-job fit), namun dalam kenyataannya karyawan mungkin menguasai dan memahami pekerjaan yang dijalaninya namun tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam organisasi. Kristof (1996) berpendapat bahwa pendekatan person-job fit ini kurang baik dalam proses seleksi karyawan, mereka berpendapat bahwa efektifitas organisasi tidak hanya didukung oleh kesuksesan tugas pekerjaan karyawan saja tetapi perlu memperhatikan perilaku karyawan secara luas. Person Organization-fit menjadi pertimbangan sebagai bagian seleksi di dalam organisasi dan secara umum didefinisikan sebagai kecocokan antara individu dan organisasi dan ketepatan kepribadian seorang individu sesuai dengan konteks perusahaan (Kristof, 1996). 
Pada beberapa penelitian organisasi mengemukakan bahwa orang sering bekerja untuk perusahaan yang dapat membuat mereka menggunakan keahlian dan kemampuan terbaik mereka dan menyediakan lingkungan yang sesuai dengan atribut pribadi mereka (Kristof, 1996), jadi organisasi yang dapat membuat karyawan merasa dapat melakukan keahlian dan kemampuan terbaik mereka serta lingkungan yang sesuai dengan atribut personal mereka akan mendukung kinerja yang lebih baik.
Hubungan ini juga didasari oleh adanya psychological contrac” dimana ada ikatan antara individu dengan organisasi secara psikologis, “kontrak psikologis adalah kepercayaan individu, yang dibentuk oleh organisasi berdasar pada   ketentuan perjanjian pertukaran antara individu-individu dengan organisasi mereka” (Roesseau, 1995). Menurut Roesseau (1995) kontrak ini didasarkan pada asumsi bahwa perjanjian ini tetap ada dan bahwa kontrak tersebut diterima dengan sukarela oleh karyawan. Hal tersebut berarti bahwa dasar penerimaan karyawan atas kontrak adalah harapan karyawan pada organisasinya dan keinginan karyawan untuk melanjutkan partisipasi dalam hubungan tersebut, juga diikuti bahwa karyawan bekerja dalam perusahaan dengan pemahaman bahwa employer akan membalas dengan menyediakan kompensasi dan hal – hal positif lainnnya.
Kontrak psikologis yang semakin berkembang dalam organisasi dapat menjadi kontrak normatif di dalam perusahaan, “perjanjian antara kelompok dengan perusahaan dapat menjadi kontrak normatif pada saat rekan-rekan kerja menyetujui persyaratan yang mendefinisikan kontrak psikologis masing-masing, dan berbagi bersama atas perjanjian ini menguatkan keseluruhan hubungan antar karyawan dengan perusahaan mereka” (Valentine dkk, 2002). Tingginya perjanjian normatif dapat menegakkan norma perusahaan berdasarkan nilai, kepercayaan dan prinsip institusional dan mengembangkan kemantapan budaya perusahaan. Person-organization fit akan meningkat pada saat perusahaan menghargai dan mendukung perjanjian tersebut,  menggunakan nilai organisasi yang diinginkan.
Secara khusus, perkembangan konteks etika mungkin meningkatkan person-organization fit karena para karyawan lebih memilih nilai perusahaan bermoral (Vidaver-Cohen, 1998), organisasi dapat meningkatkan perjanjian dan kontrak karyawan yang terbagi dengan karyawan lain dengan mendukung kode etik (Valentine dkk, 2002), pada saat organisasi menyediakan budaya konduktif untuk pertukaran tersebut (pada saat employer dapat diandalkan, berpikiran terbuka, atau beretika) kemungkinan untuk mendapatkan respon yang diinginkan dari karyawan (produktivitas dan loyalitas tinggi) secara teori akan meningkat (Hunt dkk, 1989).
Menurut Kristof (1996), person-organization fit memiliki empat konsep yang terdiri dari :
1.                  Kesesuaian nilai (value congruence) adalah kesesuaian antara nilai intrinsic individu dengan organisasi
2.                  Kesesuaian tujuan (goal congruence) adalah kesesuaian antara tujuan individu dengan organisasi. Dalam hal ini adalah pemimpin dan rekan sekerja
3.                  Pemenuhan kebutuhan karyawan (employee need fulfillment) adalah kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan karyawan dan kekuatan yang terdapat dalam lingkungan kerja dengan sistem dan struktur organisasi
4.                  Kesesuaian karakteristik kultur-kepribadian (culture personality congruence) adalah kesesuaian antara kepribadian (non nilai) dari setiap individu dan iklim atau kultur organisasi.
Netemeyer (1997) mengembangkan pengukuran person-organization fit dengan menilai kesesuaian antara nilai pribadi karyawan-karyawan dengan nilai organisasi:
1.                  Saya merasa bahwa nilai pribadi saya sangat cocok dengan nilai organisasi saya
2.                  Organisasi ini memiliki nilai yang sama seperti saya berkaitan dengan kepedulian terhadap orang lain
3.                  Organisasi ini memiliki nilai yang sama seperti saya berkaitan dengan kejujuran

4.                  Organisasi ini memiliki nilai yang sama seperti seperti saya berkaitan dengan keadilan.

Gaya Kepemimpinan

Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin yang artinya seseorang yang mempergunakan wewenang dan kepemimpinannya, mengarahkan bawahan untuk mengerjakan sebagian pekerjaannya dalam mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang ditetapkan oleh seorang manajer dalam organisasi dapat menciptakan integrasi yang serasi dan mendorong gairah kerja karyawan untuk mencapai sasaran yang maksimal.
Dalam suatu organisasi, faktor kepemimpinan memegang peranan yang penting karena pemimpin itulah yang akan menggerakkan dan mengarahkan organisasi dalam mencapai tujuan dan sekaligus merupakan tugas yang tidak mudah. Tidak mudah, karena harus memahami setiap perilaku bawahan yang berbeda-beda. Bawahan dipengaruhi sedemikian rupa sehingga bisa memberikan pengabdian danpartisipasinya kepada organisasi secara efektif dan efisien. Dengan kata lain, bahwa sukses tidaknya usaha pencapaian tujuan organisasi ditentukan oleh kualitas kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan. Thoha (2010:49), gaya kepemimpinan adalah norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba memengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai tujuannya. Sedangkan menurut (Martinis Yamin dan Maisah, 2010:74) kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola anggota kelompoknya untuk mencapai tujuan organisasinya. Bentuk gaya kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu organisasi dapat mempengaruhi kinerja setiap karyawan. Gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi akan mendorong karyawan untuk bekerja lebih bersemangat dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Berdasarkan definisi gaya kepemimpinan diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mengarahkan, mempengaruhi, mendorong dan mengendalikan orang lain atau bawahan untuk bisa melakukan sesuatu pekerjaan atas kesadarannya dan sukarela dalam mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Siagian (2002:235), gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi ada 5 tipe yaitu:
1.             Tipe pemimpin yang otokratik
Seorang pemimpin yang otokratik ialah seorang pemimpin yang:
-                 Menganggap organisasi sebagai milik pribadi
-                 Mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi
-                 Menganggap bahwa sebagai alat semata-mata
-                 Tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat
-                 Terlalu tergantung pada kekuasaan formalnya
-                 Dalam tindaknya penggeraknya sering mempergunzakan approach yang mengandung unsur paksaan dan punctif (bersifat menghukum)
2.             Tipe pemimpin yang militeristik
Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud seorang pemimpin tipe militeristik berbeda dengan seorang pemimpin modern. Seorang pemimpin yang bertipemiliteristik ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat:
-                 Dalam menggerakan bawahannya sistem perintah yang sering dipergunakan
-                 Dalam menggerakan bawahannya senang bergantung pada pangkat dan jabatan
3.             Tipe pemimpin yang paternalistik
-                 Menganggap bahwa sebagai manusia yang tidak dewasa
-                 Bersikap terlalu melindungi
-                 Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil Keputusan
-                 Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil inisiatif
-                 Jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasi
-                 Sering bersikap mau tahu
4.             Tipe pemimpin yang kharismatik
Pemimpin karismatik adalah pemimpin yang mewujudkan atmosfir motivasi atas dasar komitmen dan identitas emosional pada visi, filosofi, dan gaya mereka dalam diri bawahannya (Ivancevich, dkk, 2007). Pemimpin kharismatik mampu memainkan peran penting dalam menciptakan perubahan. Individu yang menyandang kualitas-kualitas pahlawan memiliki karisma. Sebagian yang lain memandang pemimpin karismatik adalah pahlawan.
House (1977) mengusulkan sebuah teori untuk menjelaskan kepemimpinan kharismatik dalam hal sekumpulan usulan yang dapat diuji melibatkan proses yang dapat diamati. Teori itu mengenai bagaimana para pemimpin karismatik berperilaku, ciri, dan keterampilan mereka, dan kondisi dimana mereka paling mungkin muncul. Sebuah keterbatasan teori awal adalah ambiguitas tentang proses pengaruh. Shamir,dkk (1993) telah merevisi dan memperluas teori itu dengan menggabungkan perkembangan baru dalam pemikiran tentang motivasi manusia dan gambaran yang lebih rinci tentang pengaruh pemimpin terhadap pengikut (dalam Yukl, 2005:294)
5.             Tipe pemimpin yang demokratik
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpinyang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modern karena:
-                 Ia senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritikan dari bawahan
-                 Selalu berusaha mengutamakan kerjasama teamwork dalam usaha mencapaitujuan
-                 Selalu berusaha menjadikan lebih sukses dari padanya
-                 Selalu berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin
Sedangkan Robins (2006) mengidentifikasi empat jenis gaya kepemimpinan antara lain:
1.             Gaya kepemimpinan kharismatik
Para pengikut terpacu kemampuan kepemimpinan yang heroik atau yang luarbiasa ketika mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu pemimpin mereka.Terdapat lima karakteristik pokok pemimpin kharismatik:


a.              Visi dan artikulasi.
Dia memiliki visi ditujukan dengan sasaran ideal yang berharap masa depan lebih baik daripada status quo, dan mampu mengklarifikasi pentingnya visi yang dapat dipahami orang lain.
b.             Rasio personal.
Pemimpin kharismatik bersedia menempuh risiko personal tinggi, menanggung biaya besar, dan terlibat ke dalam pengorbanan diri untuk meraih visi.
c.              Peka terhadap lingkungan.
Mereka mampu menilai secara realistis kendala lingkungan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk membuat perubahan.
d.             Kepekaan terhadap kebutuhan pengikut.
Pemimpin kharismatik perseptif (sangat pengertian) terhadap kemampuan orang lain dan responsive terhadap kebutuhan dan perasaan mereka.
e.              Perilaku tidak konvensional.
Pemimpin kharismatik terlibat dalam perilaku yang dianggap baru dan berlawanan dengan norma.
2.             Gaya kepemimpinan transaksional
Pemimpin transaksional merupakan pemimpin yang memandu atau memotivasi para pengikut mereka menuju sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas. Gaya kepemimpinan transaksional lebih berfokus pada hubungan pemimpin-bawahan tanpa adanya usaha untuk menciptakan perubahan bagi bawahannya. Terdapat empat karakteristik pemimpin transaksional:
a.              Imbalan kontingen: kontrak pertukaran imbalan atas upaya yang dilakukan,menjanjikan imbalan atas kinerja baik, mengakui pencapaian.
b.             Manajemen berdasar pengecualian (aktif): melihat dan mencari penyimpangandari aturan dan standar, menempuh tindakan perbaikan.
c.              Manajemen berdasar pengecualian (pasif): mengintervensi hanya jika standartidak dipenuhi.
d.             Laissez-Faire: melepas tanggung jawab, menghindari pembuatan keputusan.
3.             Gaya kepemimpinan transformasional
Pemimpin transformasional mencurahkan perhatian pada hal-hal dan kebutuhanpengembangan dari masing-masing pengikut, Pemimpin transformasional mengubah kesadaran para pengikut akan persoalan-persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan cara-cara baru, dan mereka mampu menggairahkan,membangkitkan, dan mengilhami para pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra demi mencapai sasaran kelompok. Terdapat empat karakteristik pemimpin transformasional yaitu:
a.              Kharisma: memberikan visi dan rasa atas misi, menanamkan kebanggaan,meraih penghormatan dan kepercayaan.
b.             Inspirasi: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan simbol untukmemfokuskan pada usaha, menggambarkan maksud penting secara sederhana.
c.              Stimulasi intelektual: mendorong intelegensia, rasionalitas, dan pemecahanmasalah secara hati-hati.
d.             Pertimbangan individual: memberikan perhatian pribadi, melayani karyawansecara pribadi, melatih dan menasehati.
4.                  Gaya kepemimpinan visioner
Kemampuan menciptakan dan mengartikulasikan visi yang realistis, kredibel, danmenarik mengenai masa depan organisasi atau unit organisasi yang tengah tumbuh danmembaik dibanding saat ini. Visi ini jika diseleksi dan diimplementasikan secara tepat,mempunyai kekuatan besar sehingga bisa mengakibatkan terjadinya lompatan awal kemasa depan dengan membangkitkan keterampilan, bakat, dan sumber daya untukmewujudkannya